Selama 11 tahun perjalanan pemerintahan otonomi daerah, jumlah penduduk di pulau tersebut medio April 2010 ini sekitar 55 ribu jiwa. Selama itu pula warga di sana mengalami dua persoalan vital bagi kebutuhan hidup layak, yakni air bersih dan ketersediaan listrik.
Kebutuhan listrik sedang diupayakan dengan membeli mesin-mesin genset dan dikelola PLN sharing dengan pemerintahan lokal. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan air, perusahaan daerah air minum (PDAM) setempat berusaha mempertahankan sumber-sumber air bersih di sungai-sungai yang ada di sana.
Persoalan mulai muncul ketika sumber air bersih yang diolah dan didistribusikan untuk kebutuhan penduduk, semakin kecil debitnya. Terutama ketika kemarau tiba, selain menyebabkan krisis air juga – kalaupun ada - kualitasnya rendah karena sistim pengelolaan masih sederhana dan sumber air yang kotor.
Sumber air lain yang dimanfaatkan masyarakat Nunukan saat ini adalah air tanah dan air hujan. Untuk memperoleh air tanah, warga perlu membuat bor yang cukup dalam. Meski dapat air, secara kualitas tetap tidak bisa untuk minum. Begitu pula dengan air hujan yang sudah pasti hanya sesekali datang.
Krisis air di Pulau Nunukan sudah diprediksi banyak pihak bakal semakin parah. Ketika pemerintah tak begitu peduli terhadap pemenuhan hajat hidup orang banyak ini, maka masyarakatnya juga semakin ketakutan, hidup tidak tenang.
Ironisnya, kawasan yang bisa diharapkan sebagai sumber air tidak begitu terperhatikan juga. Misalnya kawasan hutan lindung yang ada di tengah-tengah pulau itu, malah semakin parah kondisinya karena penjarahan penduduk baik terhadap kayu-kayu pohon itu maupun untuk pemukiman baru dan kebun.
Luas hutan lindung Pulau Nunukan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 169/KPTS/UM/3/1979 tanggal 13 Maret 1979 (waktu itu masih bergabung dengan Kabupaten Bulungan) tentang Penunjukan sebagian Areal Hutan Pulau Nunukan seluas +1000 Ha. Luasan ini yang terus mengalami kemerosotan, sehingga ditaksir saat ini tak lagi mencapai separuhnya yang benar-benar masih utuh kondisinya.
Persoalan mulai memuncak ketika pemerintah – melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan – membangun jalan raya di sana. Jalan itu diaspal, dengan tujuan agar masyarakat sekitar hutan lindung punya akses infrastruktur.
Warga di dalam hutan lindung merasa senang adanya akses jalan tersebut, tapi tidak demikian sejumlah aktivis lingkungan di pulau tersebut. Ada beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengadukan persoalan itu ke berbagai instansi terkait. Mulai dari Dinas Kehutanan Kaltim, Departemen Kehutanan sampai ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Baru saat Kapolda Kaltim Irjen Pol Mathius Salempang berkunjung ke sana, laporan tersebut mulai mendapat tanggapan. “Polisi segera mengusut,” begitu kata Kapolda.
Bagaimana kelanjutan statement Kapolda itu yang terus ditunggu-tunggu sejumlah aktivis LSM di sana. Sejumlah data sudah masuk ke kantor polisi dan menunggu kerja dari penegak hukum apakah mereka sungguh-sungguh menanganinya. Kita tunggu saja.
Terlepas dari persoalan hukum apakah Bupati Nunukan memiliki kewenangan memutuskan boleh membangun jalan di dalam kawasan hutan lindung itu atau tidak, sebenarnya masalah besar yang mengancam warga di sana adalah persoalan di mana lagi sumber air bersih untuk kebutuhan hidup penduduk, ketika hutan lindung dengan pohon-pohon besarnya yang bertugas menyimpan air, sudah tidak ada lagi. Lebih mengerikan ketika perambahan semakin merajalela dan yang tinggal adalah belukar dengan tanah-tanah terbuka.
Bagaimanakah status tanah yang di garap warga di sekitara kawasan hutan lindung. dari data yang saya baca di tahun 1979 luas hutan lindung sekitar +1000 ha sampai pada tahun 2012 yang menyusut drastis di kisaran luas 398 ha saja hutan lindung yang ada di nunukan. nah inti dari pertanyaan saya, 602 ha yang sudah tergerus itu bagaimana statusnya ?