PKL di Alun-alun Nunukan. Foto diambil Rabu (16/6/2010)

Nunukan - Kamis (17/6/2010) Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Nunukan mengadakan pertemuan tertutup dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) di Kantor Bupati. Pertemuan ini membahas pedagang kaki lima (PKL) di Alun-alun Nunukan yang mengaku mendapatkan ijin berjualan dari Bupati dan Disperindagkop.

Kehadiran PKL di Alun-alun ini menjadi sorotan karena ada larangan berjualan di badan jalan. Satpol dianggap membiarkan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di badan jalan di Alun-alun. Rabu (16/6/2010) Satuan Polisi Pamong Praja Nunukan akhirnya bertindak tegas. Sejak sore hingga malam, puluhan personil Satpol PP berjaga-jaga di Alun-alun sehingga tidak ada seorang PKL pun yang berjualan di atas trotoar maupun badan jalan.

Meskipun demikian, penertiban ini sempat diwarnai ketegangan. Terjadi perdebatan yang cukup lama antara aparat Satpol PP dengan seorang PKL yang ngotot tetap berjualan di badan jalan. Achmad bin Tiro, pedagang air tebu itu mengaku telah mendapatkan izin dari Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad dan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Nunukan.

"Kenapa saya dilarang? Kenapa ada surat dari Disperindagkop?" ujarnya kepada petugas.

Sambil menunjukkan surat-surat izin dimaksudkannya, Achmad menelpon sejumlah orang termasuk diantaranya, Zainuddin salah seorang aktivis LSM.

"Kalau memang salah, saya tinggalkan ini. Kebetulan saya dan Pak Jai (Zainuddin) sudah bicara dengan beliau (Bupati). Saya mau lihat apakah (Zainuddin) bohong atau bagaimana? Sudah tuh hari saya sama-sama. Karena waktu ketemu beliau (Bupati), dia bilang tidak boleh saya tinggalkan pekerjaan saya ini. Saya ke rumahnya juga ke kantornya," ujar PKL yang menjajakan dagangannya menggunakan mobil pikap nomor polisi DD 8053 AG

Achmad mengaku telah menjelaskan secara rinci kepada Bupati Nunukan mengenai lokasi ia berdagang di Alun-alun Nunukan.

"Ada yang menyuruh saya jualan di Sungai Bolong, ada tempat di sana. Tapi dia (Bupati) sendiri bilang siapa mau beli di sana?" katanya.

Achmad dengan mimik wajah yang serius, menelpon Zainuddin. "Kau turunlah sebentar. Ndak enak juga sama petugas," katanya.

Lama ditunggu, orang yang ditelpon tak juga muncul, justru memancing kemarahan aparat.

"Siapa orang yang bapak tunggu? Kalau lima menit tidak datang, pulang saja. Ini sudah dari tadi. Kalau tidak ada pulang saja," kata Kasi Pembinaan Ketentaraman dan Ketertiban pada Satpol PP Nunukan, Muhammad Firnanda.

Tak berapa lama, Zainuddin yang mengenakan berbagai atribut LSM-nya dengan menggunakan sepeda motor, tiba di Alun-alun.

"Begini Pak, masalah ini kami sudah bicarakan dengan Bupati. Saya mengambil jalan tengah, kehadiran kami, saya dan Haji Hafid untuk berkomunikasi dengan baik. Saya ini dikirim dari pusat. Di DKI hal yang sama saya dapati. Tapi karena ini di daerah, kita mau pemerintah lebih bijak mengambil kebijakan," katanya kepada Firnanda.

Zainuddin menyarankan, sebaiknya sebelum dilakukan penertiban dilakukan jalan tengah dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan perwakilan pedagang kaki lima.

"Kita menghindari gesekan sosial. Kasihan juga teman dari Satpol PP mengamankan, sementara mereka juga tuntutan perut. Saya rasa akan ada solusi. Keberadaan saya untuk mencari solusi. Kami juga mengacu pada dasar aturan, kami tidak meloloskan sesuatu dengan melanggar aturan," katanya.

Meskipun Zainuddin telah mengemukakan berbagai argumentasi, namun Satpol PP tetap bersikukuh melarang Achmad berjualan.

"Kalau memang ada izin tertulis tidak masalah. Karena setahu kami, apa yang dipegang itu bukan izin. Sementara belum ada izin tertulis, silakan cari tempat, jangan di badan jalan. Kami sempat sebulan membiarkan, karena ada permintaan dari Disperindagkop. Tetapi kami ketemu Disperindagkop hari ini, mereka tidak komentar. Kami menghadap Bupati yang jelas dia meminta supaya ditertibkan kalau melanggar aturan," katanya. (*)