Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur nekat menyurati Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sehubungan kerusakan hutan lindung di Nunukan dan Bulungan.

Walhi melaporkan praktek perambahan hutan lindung dengan berdalih memanfaatkan hak pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan. “Kami laporkan langsung pada Menteri Kehutanan,” kata Direktur Walhi Kalimantan Timur, Izal Wardana, Rabu (31/3).

Izal mengatakan kuatnya dugaan perambahasan kawasan hutan terjadi di Bulungan dan Nunukan. Kepolisian Daerah Kalimantan Timur juga sudah mengendus adanya pelanggaran kawasan hutan terjadi di Bulungan dan Nunukan. “Sudah ditangani kepolisian setelah Kapolda Kaltim baru baru ini meninjau di kawasan utara,” paparnya.

Dalam suratnya, Izal meminta Menteri Kehutanan mencabut izin pinjam pakai hutan lindung untuk pembangunan infrastruktur dan aktifitas pertambangan di Nunukan dan Bulungan. Disamping itu, Menteri Kehutanan diminta menindak lanjuti temuan kerusakan kawasan hutan lindung Bulungan dan Nunukan pada aparatur penegak hukum.

Aktivitas penambangan batu bara di Pulau Bunyu Bulungan, kata Izal sudah mulai terdeteksi Walhi Kalimantan Timur sejak 2007 silam. Lewat investigasi serta laporan masyarakat.

"Ekosisitem Pulau Bunyu terancam pertambangan batu bara. Ada tiga perusahaan dengan menggunakan ijin Kuasa Penambangan (KP) yang dikeluarkan oleh Bupati Bulungan,” paparnya.

Tiga perusahaan itu, lanjut Izal adalah PT. Garda Tujuh Buana (1.995 hektare), PT. Lamindo Inter Multikon (1.000 ha) dan PT. Mitra Niaga Mulya / PT. Adani Gelobal seluas (1.900 ha). Total luas izin konsesi adalah 4.928 hektare atau hampir 50 persen dari seluruh luasan Pulau Bunyu yang hanya 193,32 km persegi.

“Berdampak semakin buruknya kualitas Lingkungan Hidup dan terancamnya kawasan Hutan yang ada di Pulau Bunyu,” paparnya. Adanya kerusakan lingkungan Bulungan dan Nunukan, Izal mengatakan telah melanggar Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Ijin pinjam pakai di dalam kawasan hutan lindung, menurutnya harus seizin Menteri Kehutanan dengan persetujuan DPR RI. “Pelanggaran atas kedua pasal ini merupakan tindakan pidana dengan ancaman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 Milyar sampai Rp 10 Milyar,” tutur Izal.