sebuah kapal ilegal milik pengusaha Malaysia yang tertangkap melakukan pencurian ikan di Perairan Sebatik. Pencurian ikan oleh negara tetangga masih menjadi masalah serius di wilayah ini.




Puluhan tahun, banyak kapal-kapal ikan asal Kalimantan Timur (Kaltim) mendaratkan hasil tangkapannya di Malaysia. Negara Indonesia sudah dirugikan miliaran rupiah. Sementara legalisasi pukat hela di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia masih menjadi perdebatan. Rasa miris menghujam ketika saya menginjakan kaki di Sebatik.Jarum jam tepat menunjukan pukul setengah satu siang ketika, Saya beserta rombongan wartawan ibukota lainnya tiba di Pelabuhan Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim). Siang itu, kami atas ajakan Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) akan melakukan perjalanan laut menuju Pulau Sebatik, pertengahan Februari lalu.

Armada yang kami tumpangi adalah Kapal Patroli Hiu Macan 003 yang mempunyai cakupan wilayah operasi di perairan Indonesia bagian timur. Kapal ini meninggalkan pelabuhan dengan kecepatan 14 knot/jam. Beruntung ombak di laut sedang tak begitu tinggi sehingga kapal yang kami tumpangi melaju dengan tenang.

Perjalanan dari Tarakan menuju Sebatik selanjutnya kami tempuh dalam kurun waktu lima jam. Sekitar pukul tujuh malam, kami mendarat di sebuah dermaga kayu yang menjorok ke tengah laut. Kami harus berhati-hati ketika memanjati tangga dermaga tersebut. Suasana begitu gelap dan temaram. Hanya ada penerangan dari beberapa buah lampu bohlam dan pijar yang tak begitu terang.Namun ketika pandangan kami arahkan ke timur, benderang cahaya begitu jelas kami lihat jauh di seberang pulau. Kami bayangkan betapa ramai dan meriahnya kehidupan di sana. Itulah daratan Tawao, Malaysia.

Sebatik adalah sebuah pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di darat, pulau ini terbagi dua menjadi Sebatik Indonesia dan Sebatik Malaysia. Sementara di laut, pulau ini berhadap-hadapan dengan daratan Tawao. Lebih jauh ke arah timur terletak Pulau Sipadan dan Ligitan yang dulu pernah menjadi sengketa antara Indonesia-Malaysia. Miris karena Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan dua pulau ini sebagai bagian kedaulatan negeri jiran tersebut.

“Mereka makmur karena nelayan Indonesia,” ujar H.Yusuf, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Cabang Kabupaten Nunukan, Kaltim yang menyambut kedatangan kami. Cerita yang mengalir selanjutnya adalah tentang keprihatinan dan permasalahan yang selama ini menggelayuti kehidupan nelayan di Sebatik dan wilayah-wilayah di Kaltim lainnya.

“Bayangkan selama puluhan tahun, banyak nelayan kami yang mendaratkan dan menjual ikan tangkapannya ke Malaysia dengan harga murah,” kata Yusuf. Pemerintah Malaysia, lanjut Yusuf, tentunya dengan senang hati menerima kedatangan mereka.

“Jika anda nelayan yang datang dengan membawa ikan maka tak perlu paspor untuk masuk Tawao,” katanya lagi. Alhasil selama puluhan tahun pula Indonesia tak menikmati keuntungan berarti dari pengeksplotasian sumber daya ikan di perairan tersebut.
Wajar jika pada akhirnya, walaupun hanya negara dengan luas wilayah yang kecil,

Malaysia begitu makmur. Pembangunan ekonomi terus menerus dilaksanakan sebagai unjuk kemakmurannya. Sebatik Indonesia pun semakin tenggelam dalam kemiskinannya. Hal ini tentunya tak akan pernah terjadi jika saja Pemerintah Indonesia sudah jauh-jauh hari memperhatikan kehidupan masyarakat di pulau perbatasan tersebut. “Kami tak memiliki cold storage, industri pengolahan, maupun pelabuhan yang memadai untuk menerima ikan-ikan tangkapan nelayan,” kata Suryanto, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nunukan.

Karena itu, menurutnya, tak bisa disalahkan jika pada akhirnya banyak nelayan di Kaltim yang memasok hasil tangkapannya ke Malaysia. Ironis memang, entah sampai kapan perairan kita menjadi surga bagi pencuri.