Nunukan-Pembangunan akses jalan di kawasan hutan lindung masih menuai kritik tajam. Bukan hanya dari masyarakat, akademisi dan LSM, namun juga mengalir dari wakil-wakil rakyat DPRD Nunukan.

BERKEMBANG pemahaman, keputusan membangun jalan di hutan lindung merupakan ‘kecelakaan’ pembangunan yang akan menyusahkan pemerintahan, karena menjadi sumber pertentangan yang meresahkan. Apalagi hutan lindung adalah sumber air bersih di daerah itu.

Hermansyah R, anggota Fraksi Golkar, termasuk yang memprotes keputusan membangun jalan di kawasan hutan lindung. Dia sangat menyayangkan sebab menurut dia, pemerintah sendiri pernah membangun sebuah papan informasi di kawasan hutan lindung Nunukan tentang larangan dan sanksi terhadap tekanan kawasan hutan lindung. Tetapi, kata Hermansyah, justru pemerintah sendiri yang melakukan penekanan dengan membangun jaringan akses jalan di kawasan itu. “DPRD sempat mempertanyakan pembangunan jalan itu kepada Kepala Dinas PU, dan mengaku mereka yang memasang papan plang larangan tersebut. Ini kan jadi timbul persepsi bahwa PU yang buat aturan tapi mereka sendiri yang melanggar,” ujar Hermansyah.

Menurutnya, dampak dari pembangunan jalan di kawasan hutan lindung Nunukan itu, kini bukan malah potensi tegakan yang terjaga seperti pernah disampaikan oleh Dinas PU. Sebaliknya, kata Hermansyah, justru masyarakat ikut-ikutan mengklaim beberapa kawasan di areal hutan lindung itu sebagai kebun-kebun mereka.

Kenyataannya, bukan saja warga yang berdalih punya kebun di areal kawasan lindung yang tersisa kurang lebih 300 hektar, tetapi juga beberapa kalangan pejabat dan pengusaha.

Begitu pula dengan berkembangnya kegiatan illegal logging. Justru dengan adanya akses jalan itu, praktik mengeluarkan kayu dari hutan lindung bagi pemain kayu kambuhan semakin lancar. Ini terbukti dengan adanya upaya dari persatuan pengusaha kayu lokal yang pernah melakukan demo ke DPRD, karena ditangkapi kayu-kayu mereka oleh aparat kepolsian. Aksi itu berdampak pula pada pembakaran dua unit Pos Polisi Pamong Praja milik Pemkab Nunukan.

Dampak negatif lainnya akibat adanya akses jalan di hutan lindung adalah adanya upaya oknum masyarakat yang berani merusak dan bermaksud mencabut papan plang yang ada di hutan lindung. “Mungkin warga merasa itu bukan lagi kawasan hutan lindung,” katanya.

Herman juga mengakui jika pembangunan jalan di lokasi yang ditentang elemen masyarakat Nunukan itu tidak diawali dengan koordinasi, baik kepada pihak Bappeda maupun instansi tehnis lainnya seperti Kehutanan. “Jadi memang tidak ada koordinasi dengan instansi terkait. Apalagi dengan kami di DPRD. Kami sama sekali tidak pernah diajak membicarakan pembangunan jalan di kawasan hutan lindung itu,” terang Herman

Menurut Herman, Pemkab beralasan pembangunan jalan itu adalah atas dasar menindaklanjuti aspirasi masyarakat. “Kalau pemerintah membuka jalan di hutan lindung, itu menunjukkan bahwa tata ruang di Nunukan belum jelas. Padahal pembukaan hutan lindung sangat berdampak pada persediaan air. Saat ini saja setiap hujan turun sungai menjadi kuning. Ini diduga akibat kerusakan hutan lindung itu,” ujarnya.

Anehnya, meski penuh protes, menurut Herman, proyek pembukaan jalan itu tetap dilanjutkan di wilayah Kampung Tator tembus Makodim dan Sungai Fatimah dan terus ke lokasi pembangunan Embung.

Sumber Majalah Bongkar Selasa, 29 Januari 2008.