Realitas Kehidupan Masyarakat antara Tawau dan Nunukan Ibarat Melihat Bumi dan Langit

SAAT perahu motor yang ditumpangi dari Nunukan, kota paling utara di Kalimantan Timur, merapat di pelabuhan Tawau, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri seolah tidak percaya kalau dia bersama rombongan telah tiba di kota terselatan di Negara Bagian Sabah, Malaysia Timur. Sikap ini dapat dimaklumi, sebab suasana kota tersebut jauh lebih ramai, banyak gedung perkantoran dan bisnis yang megah dan tinggi, jalannya lebar, beraspal mulus, dan bersih.

BAHKAN, jalan yang menghubungkan Tawau dengan berbagai kota kecil dan besar di wilayah Negara Bagian Sabah menyerupai jalan tol dan tiap jalur dapat dilalui empat kendaraan. Sepanjang jalan tampak hamparan perkebunan kelapa sawit dan kakao yang dilengkapi industri hilir dan hulu.

Kendaraan yang lalu lalang pun dari berbagai merek dan jenis; mulai mobil kebanggaan Malaysia, yakni Proton Saga hingga Marcedes, Toyota Land Cruiser Turbo, Mitsubishi Pajero, dan Ford. Bahkan, jumlah mobil mewah itu tampak cukup menonjol. Menariknya lagi, selama berada di kota itu dan sekitarnya, rombongan Menteri Kelautan dan Perikanan hanya menggunakan mobil-mobil mewah. Sama sekali tidak ada mobil sejenis Toyota Kijang. Hampir di setiap rumah tampak terparkir minimal satu mobil pribadi.

Selain itu, di kota setingkat kabupaten tersebut memiliki pelabuhan samudra yang melayani ekspor dan impor, serta pelabuhan perikanan yang cukup besar. Tidak jauh dari pelabuhan berdiri berbagai jenis industri, termasuk pabrik pengawetan, pengolahan, dan pengalengan ikan. Ikan kaleng dan ikan yang diawetkan langsung diekspor ke Singapura, Jepang, dan China.

Hebatnya lagi, sekitar 20 kilometer arah utara Tawau tersedia bandar udara (bandara) yang mampu didarati pesawat berbadan lebar dari berbagai jenis dan tipe. Setiap penumpang yang turun maupun naik tidak dijemput dengan bus, melainkan melalui garbarata. Kehadiran bandara itu otomatis memudahkan eksportir mengirimkan barang-barang yang mengharuskan cepat tiba di tempat tujuan. Tawau juga memiliki belasan hotel berbintang yang selalu dihuni tamu minimal 60 persen dari kapasitas yang tersedia. Luar biasanya lagi, tersedia pula belasan lapangan golf dan tiga di antaranya berstandar internasional. Setiap akhir pekan lapangan tersebut tidak pernah sepi. Pemain tak hanya dari Tawau, tetapi juga Kinabalu, Kuching, Kuala Lumpur, Balikpapan, dan Brunai Darussalam.

Sebaliknya, di Nunukan, yang hanya memiliki jarak tempuh sekitar dua jam menggunakan perahu motor dari Tawau, suasananya sangat kontras. Di sana jalan raya beraspal baru terbangun di tengah kota. Tetapi, kualitas jalan yang ada masih jauh di bawah standar dan setiap ruas hanya bisa dilalui maksimal dua kendaraan. Banyak juga jalan yang belum teraspal sebab baru dibuka tahun 2003. Kendaraan yang termewah hanya Nissan Terano, dan itu pun hanya satu unit yang menjadi mobil dinas Bupati Nunukan.

Nunukan hanya memiliki satu pelabuhan yang disinggahi kapal milik PT (Persero) Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) dan kapal-kapal tradisional yang melayani angkutan penumpang, serta barang dari kota itu menuju Surabaya, Makassar, dan kota lain di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Bandaranya baru mampu didarati pesawat jenis Cassa. Gedung yang paling mewah hanya kantor Bupati yang memiliki lima lantai.

“Kalau kita membandingkan antara Tawau dan Nunukan, ibarat Bumi dan langit. Sebagai sebuah etalase Indonesia di utara Kalimantan Timur, seharusnya kondisi Nunukan tidak boleh tertinggal begitu jauh dari Tawau. Hal ini membuat ketergantungan masyarakat Nunukan kepada Tawau menjadi sangat besar. Kalau terjadi jomplang seperti ini hanya menyuburkan penyelundupan dan aktivitas ilegal lainnya. Dan itu sangat merugikan kita,” kata Rokhmin Dahuri.

JIKA perbedaan kedua kota yang begitu tajam dipersoalkan, pejabat tinggi di Jakarta pasti selalu berkilah bahwa Nunukan baru berbenah sejak tahun 1999, setelah dimekarkan dari Kabupaten Bulungan. Tadinya Nunukan hanya sebuah kecamatan dengan alokasi dana pembangunan pun sangat terbatas sehingga tidak mungkin menyamai Tawau.

Argumentasi ini benar dan logis. Akan tetapi, di balik itu menggambarkan betapa para pembuat kebijakan pembangunan di Indonesia sama sekali tidak memiliki visi tentang nilai dan peran strategis kawasan perbatasan negara. Malaysia memaknai kawasan perbatasan negara sebagai potensi untuk meraih devisa. Di sana diyakini dapat terjadi transaksi perdagangan barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan pokok, minimal untuk masyarakat di sekitar kawasan itu.

Tidak mengherankan, hampir di semua daerah strategis dari Malaysia yang berbatasan dengan Indonesia selalu dibangun menjadi kota-kota menengah. Semua infrastruktur dasar, seperti jalan, telepon, air bersih, listrik, pelabuhan, dan bandar udara disediakan sehingga menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di daerah tersebut. Akhirnya, kota-kota itu tumbuh menjadi pusat pertumbuhan baru ekonomi Malaysia.

Semporna, misalnya, yang berjarak 102 kilometer arah utara Tawau hanya ditempuh sekitar satu jam dari Tawau. Mengapa? Karena jalan yang dibangun memiliki dua lajur dan setiap lajur dapat dilewati tiga kendaraan. Di daerah pesisir ini memiliki jaringan telepon yang sangat baik yang bisa melayani percakapan internasional. Di sana dibangun pula pelabuhan pendaratan ikan (PPI) yang dilengkapi dengan stasiun pengisian bahan bakar berskala besar, industri pengawetan ikan, industri pengalengan ikan, dan dalam kawasan tersebut dilengkapi rumah makan ikan serta hotel berbintang yang dibangun di atas laut. Hotel itu umumnya dihuni wisatawan mancanegara dan pengusaha dari berbagai kota di Malaysia dan dari luar negeri, seperti Singapura, Filipina, Thailand, China, dan Jepang.

Lihat saja di Lubok Antu yang berbatasan dengan Badau (Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat), Serian, dan Tebedu yang berbatasan dengan Entikong (Kalimantan Barat), Tawau-Nunukan, dan lain sebagainya. Kini masyarakat Indonesia yang tinggal di perbatasan sangat menggantungkan hidup pada kota-kota tersebut. Setiap hari mereka menuju kota terdekat untuk membeli berbagai barang kebutuhan, baik makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Penghasilan yang diperoleh dalam rupiah, tetapi harus ditukarkan dalam ringgit agar dapat membeli barang yang diinginkan.

Kelebihan lain dari Malaysia dalam sektor perikanan, misalnya, dalam kredit usaha. Di negara itu, dengan bermodalkan kapal kayu pun pemohon dibolehkan mendapatkan kredit dengan suku bunga kredit hanya sekitar tiga persen per tahun. Prosesnya pun paling lama dua hari. “Kami di sini (Malaysia) mudah sekali dapat kredit dari bank. Kami tulis proposal, lalu ajukan ke bank dengan agunan kapal kayu sudah bisa dapat kredit untuk beli kapal dan alat tangkap yang lebih baik untuk meningkatkan produksi dan penghasilan,” tutur Nadjil (39), nelayan di Semporna, yang mengaku memiliki dua mobil pribadi.

Untuk memiliki mobil, lanjut dia, juga sangat gampang karena masyarakat Malaysia dilarang membeli mobil secara tunai. Masyarakat diminta membeli mobil secara kredit dengan waktu mengangsur maksimal 10 tahun. Jika ada warga yang kedapatan membeli mobil dengan tunai langsung diusut, sebab diduga melakukan korupsi dan lain sejenisnya.

UNTUK itu, menurut Rokhmin Dahuri, sudah waktunya semua pihak dan instansi terkait mulai membangun kawasan perbatasan. Khusus untuk Nunukan, dia menawarkan pembangunan pada tiga sektor unggulan, yakni perikanan dan kelautan, perkebunan, serta pariwisata. Akan tetapi, pembangunan harus dilakukan secara terintegrasi melibatkan semua instansi terkait agar bisa lestari dan efisien.

Sementara itu, pemerintah dan masyarakat harus menciptakan iklim yang nyaman dan kondusif bagi investasi. “Jangan mempersulit. Jangan melakukan unjuk rasa terus-menerus. Lalu, infrastruktur pun dibangun dan sektor unggulan langsung bergerak. Kepastian hukum ditegakkan dan sumber daya manusia ditingkatkan, maka saya yakin dalam waktu 10 tahun saja kita sudah mampu mengejar berbagai ketertinggalan Nunukan dari Tawau,” ujar Rokhmin.

Keyakinan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Tawau dipicu oleh maraknya kegiatan ilegal yang disuplai dari Nunukan. Misalnya, pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI), penyelundupan kayu, pencurian ikan, dan berbagai barang kebutuhan lainnya.

“Jika kegiatan ilegal itu ditertibkan, lalu saat yang sama dibuka perkebunan skala besar, industri kelapa sawit, industri perikanan dan kelautan di Nunukan, saya kira perekonomian Tawau bisa goyah. Sebab, pencari kerja pun pasti lebih memilih bekerja di Nunukan dibanding harus ke Tawau. Di sana mereka dibohongi, ditipu, atau disiksa majikan, dan diburu aparat keamanan setempat dengan tuduhan pendatang haram. Oleh sebab itu, kenapa kita tidak sekalian menghidupkan Indonesia saja,” kata Rokhmin Dahuri.

“Yang terpenting sekarang adalah mari kita hentikan kerja sektoral dan mulai membangun secara terpadu dan terintegrasi. Di sini kita membutuhkan pemimpin yang visioner dan kuat untuk mengatur semuanya ini mulai dari pusat hingga daerah,” tegas Rokhmin Dahuri.

Halim Fugianto, Direktur Utama PT Mitra Samudra Makmur, mengatakan, bahan baku industri perikanan dan perkayuan di Tawau umumnya disuplai secara ilegal dari Nunukan. Hal ini menunjukkan potensi kedua komoditas itu di bagian utara Kalimantan Timur masih sangat berlimpah. Jika demikian, mengapa tidak didorong dan diberikan iklim yang kondusif untuk pembangunan industri berskala besar di Nunukan?

Andaikata kebutuhan itu terpenuhi pemerintah dan masyarakat, dia sangat optimis investor akan berlomba-lomba berinvestasi di Nunukan. Alasannya, daerah tersebut memiliki posisi yang sangat strategis sebagai salah satu pintu gerbang Indonesia dan Malaysia.

“Itu berarti, ekonomi Nunukan akan maju pesat. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat di Nunukan pun pasti meningkat tajam. Ketertinggalan ekonomi dengan Tawau perlahan-lahan dapat diimbangi,” ujar Halim, yang kini merintis pembangunan industri perikanan berskala besar secara terpadu pada areal seluas 32 hektar di Nunukan.