Asrama Itu Harapan Anak-anak Pedalaman
Tiga pelajar yang berada di dapur sebuah asrama sekolah terlihat asyik mengupas tiga mentimun yang mereka beli di Ledo, ibu kota Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Di beberapa panci, nasi terlihat sudah matang.

Malam itu, mereka makan seadanya dengan telur goreng. Mentimun yang dikupas merupakan sayurannya.

Suasana keterbatasan sebuah asrama pelajar sekolah menengah atas (SMA) di Kecamatan Ledo itu terpotret saat Kompas berkunjung ke sana suatu akhir pekan pada pertengahan November lalu.

”Kami tidak mungkin tiap hari pergi-pulang ke sekolah. Kampung-kampung kami jauh di pedalaman. Pilihan cuma satu, harus berpisah dengan orangtua untuk bisa sekolah,” kata Rubanus Robin, pelajar kelas II Jurusan IPA SMA 1 Ledo.

Letak asrama mereka sekitar 50 kilometer dari perbatasan Kalbar-Serawak, Malaysia (di Kecamatan Jagoibabang, Bengkayang), atau sekitar 260 kilometer utara Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.

Asrama milik Yayasan Peduli Pendidikan Masyarakat Pedalaman itu memang khusus menampung anak-anak dari kampung-kampung di Kecamatan Ledo dan sekitarnya.

Di tempat itu, ada dua bangunan, masing-masing untuk pelajar putra dan putri. Bangunannya terbuat dari kayu dan batako. Kamar-kamarnya disekat dengan papan tripleks, sedangkan ranjang dan kasur harus disediakan sendiri oleh pelajar yang tinggal di sana.

”Tinggal di sini gratis. Cuma bayar listrik Rp 20.000 per bulan. Memasak dan mencuci sendiri. Kompor, panci, piring, dan gelas juga bawa sendiri-sendiri,” kata Peter, rekan sekamar Rubanus Robin.

Di asrama yang dibangun tahun 2004 itu ada 15 pelajar, yang terdiri dari 8 pelajar putra dan 7 putri. Mereka biasanya kembali ke kampung masing- masing dua pekan sekali.

Pulang ke kampung, seperti Robin, bukan perkara mudah. Perjalanan ke rumahnya di Desa Jelatuk, Kecamatan Lumur, menempuh waktu dua jam dari Ledo—dengan motor dan jalan kaki. Sebagian jalannya masih setapak dan berbukit. ”Di Lumur tidak ada SMA sehingga saya sekolah di Ledo,” kata Robin.

Musim ujian

Asrama itu biasanya akan ramai jika musim ujian sekolah tiba. Pada masa seperti ini bangunan bisa ditempati lebih dari 50 siswa. Mereka belajar bersama untuk menghadapi ujian.

”Asrama ini bantuan warga. Tak ada dari pemerintah daerah. Yang ada cuma memberi biskuit. Anak-anak di sini hidup mandiri,” tutur pengasuh asrama, Caecilia.

Selain itu, lanjut Caecilia, di Ledo juga banyak gubuk yang bisa memuat sekitar lima atau enam orang. Gubuk-gubuk itu biasanya dimanfaatkan pelajar dari daerah pedalaman. ”Umumnya, mereka adalah pelajar SD atau SMP,” paparnya.

Sayangnya, semangat bersekolah anak-anak itu tidak dibarengi ketersediaan fasilitas belajar yang cukup. Bahkan, banyak sekolah di pedalaman dan perbatasan di Kalimantan yang kekurangan guru sehingga siswa belajar seadanya.

Jumriadi, guru SMP 003, Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, pertengahan November, terpaksa mengajar dua kelas karena satu rekannya sudah sebulan pulang kampung. Proses belajar 50 siswa di sekolah itu bisa berjalan karena dibantu seorang guru SD, yang juga istri pendeta setempat.

Kondisi lebih berat dialami Gat Khaleb, guru SMP 001 Krayan Selatan di Desa Paupan. Dia mengajar 75 siswa kelas I, II, dan III sekaligus untuk semua pelajaran. ”Tujuh rekan saya pulang kampung lebih dari dua minggu,” katanya.

Bagi orang awam, guru-guru yang meninggalkan tugasnya begitu lama semestinya mendapat teguran keras. Tetapi, di Kecamatan yang berada di perbatasan Kaltim, hal itu sudah biasa.

Sebab, daerah itu terisolasi. Akses ke sana hanya dengan pesawat perintis dari Nunukan, Tarakan, atau Malinau.

Masyarakat di daerah itu minim mendapatkan perkembangan ilmu. Barang bacaan sedikit. Menonton televisi pun tak bisa lama karena listrik dari panel surya dan genset listrik kecamatan terbatas.