Nunukan - Jaka Ajis Jainudin, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang kabur dari perusahaan kayu lapis Rajang Plywood (Sabah) SDN.BHD Tawau, Sabah, Malaysia, Selasa (20/7/2010) lalu mengaku menempuh cara tersebut karena tidak tahan dipaksa bekerja dengan isitrahat yang minim. Demikian penjelasannya saat ditemui tribunkaltim Jumat (23/7/2010).
“Waktu kami masih di Jakarta, tandatangan kontrak kerja disebutkan kalau kami kerja delapan jam sehari. Hari Minggu libur. Kenyataannya justru pada hari Minggu kami kerja 24 jam,” ujarnya.
Dalam kontrak itu, kata dia, dengan bekerja delapan jam sehari mereka bisa mendapatkan upah 11 ringgit Malaysia atau setara Rp 29.700. “Kami tidak diberikan asuransi kesehatan di dalam maupun luar negeri. Paspor kami ditahan pihak perusahaan, sejak pertama kali masuk. Sehingga kami tidak bisa kemana-mana,” katanya kepada tribunkaltim.co.id, Jumat (23/7/2010) ditemui di Masatgas Pamtas Yonif 611/Awl.
Komandan Satgas Pamtas Yonif 611/Awl Letkol Inf Junaidi M mengatakan, tiga TKI masing-masing Dwi Sunarno dan Sutarto asal Lampung Selatan serta Jaka Ajis Jainudin asal Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, masuk ke Malaysia dengan dokumen resmi yang sah sebagai pekerja. Dokumen tersebut kemudian diambil dan ditahan pihak perusahaan sehingga sangat rentan terhadap pelanggaran maupun keselamatan para TKI itu sendiri.
“Rendahnya SDM yang dimiliki serta iming-iming hasil yang lebih besar yang akan diperoleh apabila bekerja di luar negeri menyebabkan sebagain besar TKI tidak mengindahkan segala resiko yang mungkin akan terjadi. Apalagi TKI tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen keimigrasian,” ujarnya.
Junaidi mengatakan, dengan terus berulangnya kasus kaburnya TKI dari Malaysia, pihaknya meningkatkan pengawasan perkembangan daerah perbatasan dengan mengawasi dan memeriksa setiap pelintas batas.
“Selanjutnya langkah yang kami lakukan memberikan pertolongan pertama kepada TKI yang melarikan diri dari Malaysia dengan menyediakan makan, perawatan kesehatan dan tempat tinggal sementara sebelum diserahkan kepada pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) untuk penanganan lebih lanjut,” katanya. (*)
“Waktu kami masih di Jakarta, tandatangan kontrak kerja disebutkan kalau kami kerja delapan jam sehari. Hari Minggu libur. Kenyataannya justru pada hari Minggu kami kerja 24 jam,” ujarnya.
Dalam kontrak itu, kata dia, dengan bekerja delapan jam sehari mereka bisa mendapatkan upah 11 ringgit Malaysia atau setara Rp 29.700. “Kami tidak diberikan asuransi kesehatan di dalam maupun luar negeri. Paspor kami ditahan pihak perusahaan, sejak pertama kali masuk. Sehingga kami tidak bisa kemana-mana,” katanya kepada tribunkaltim.co.id, Jumat (23/7/2010) ditemui di Masatgas Pamtas Yonif 611/Awl.
Komandan Satgas Pamtas Yonif 611/Awl Letkol Inf Junaidi M mengatakan, tiga TKI masing-masing Dwi Sunarno dan Sutarto asal Lampung Selatan serta Jaka Ajis Jainudin asal Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, masuk ke Malaysia dengan dokumen resmi yang sah sebagai pekerja. Dokumen tersebut kemudian diambil dan ditahan pihak perusahaan sehingga sangat rentan terhadap pelanggaran maupun keselamatan para TKI itu sendiri.
“Rendahnya SDM yang dimiliki serta iming-iming hasil yang lebih besar yang akan diperoleh apabila bekerja di luar negeri menyebabkan sebagain besar TKI tidak mengindahkan segala resiko yang mungkin akan terjadi. Apalagi TKI tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen keimigrasian,” ujarnya.
Junaidi mengatakan, dengan terus berulangnya kasus kaburnya TKI dari Malaysia, pihaknya meningkatkan pengawasan perkembangan daerah perbatasan dengan mengawasi dan memeriksa setiap pelintas batas.
“Selanjutnya langkah yang kami lakukan memberikan pertolongan pertama kepada TKI yang melarikan diri dari Malaysia dengan menyediakan makan, perawatan kesehatan dan tempat tinggal sementara sebelum diserahkan kepada pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) untuk penanganan lebih lanjut,” katanya. (*)
0 Comments Received
Leave A Reply