Samarinda - Pihak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim mendesak jajaran Polda Kalimantan Timur mengusut eksploitasi potensi alam yang terdapat pada kawasan hutan lindung di Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan.
"Kegiatan di hutan lindung untuk eksploitasi batu bara di Pulau Bunyu, Bulungan dan pembabatan hutan dengan alasan pembukaan jalan di Kabupaten Nunukan jelas melanggar Pasal 38 dan Pasal 50 dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan," kata Direktur Walhi Kaltim, Ical Wardhana di Samarinda, Kamis.
Ia menambahkan bahwa Izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan lindung harus dilakukan oleh Menteri Kehutanan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, jadi terhadap dua kasus tersebut pihaknya menilai bupati sangat bertanggung jawab sehingga Polda harus mengusutnya.
"Pelanggaran atas kedua pasal ini merupakan tindakan pidana dengan ancaman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 Miliar sampai Rp 10 Miliar," kata Ical.
Terkait dengan pelanggaran UU itu maka seyogyanya kedua aktivitas di dalam kawasan hutan lindung di Bulungan dan Nunukan harus dihentikan sampai adanya kepastian penyidikan dan penyelidikan dari Polda Kaltim serta status hukum jika kasus tersebut sampai ke ranah peradilan.
Penambangan batu bara di Pulau Bunyu sebelumnya sudah diketahui Walhi Kalimantan Timur pada 2007 melalui investigasi yang dilakukan dengan dasar pengaduan dari masyarakat Kecamatan Bunyu.
Ekosistem Pulau Bunyu saat ini terancam oleh eksploitasi pertambangan batubara oleh tiga perusahaan dengan menggunakan izin Kuasa Penambangan (KP) yang dikeluarkan oleh Bupati Bulungan.
Tiga perusahaan tersebut adalah PT. Garda Tujuh Buana seluas 1.995 hektar, PT. Lamindo Inter Multikon seluas 1.000 ha, dan PT. Mitra Niaga Mulya/PT. Adani Global 1.900 ha dengan total keseluruhan izin konsesi sekitar 4.928 ha.
Pemerintah memberikan izin kepada 13 perusahaan tambang di Indonesia melalui Kepres No. 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan Atau Perjanjian Di Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan Hutan termasuk dua di Kalimantan Timur, yaitu PT. Interex Sacra Raya (PT. ISR) dan PT. Indominco Mandiri.
Sehingga perusahaan lain yang beroperasi di dalam kawasan Hutan Lindung di Kalimantan Timur adalah ilegal.
Ia menilai bahwa Keppres itu sendiri harus segera dievaluasi karena pembukaan Hutan Lindung untuk eksploitasi industri ekstraktif seperti Batu bara dan perluasan infrastruktur daerah merupakan preseden buruk bagi pengelolaan hutan di Kalimantan Timur, apalagi gubernur Kaltim sudah mencanangkan "Kaltim Green".
"Kegiatan penambangan itu menunjukkan bahwa hampir 50 persen Pulau Bunyu dikepung oleh eksploitasi pertambangan batu bara mengingat luas wilayah pulau kecil itu hanya sekitar 198,32 km per segi. Sudah tentu membawa persoalan sangat serius bagi lingkungan hidup," papar dia.
Sementara pembangunan infrastruktur di dalam kawasan Hutan Lindung di Pulau Nunukan telah dimulai semenjak 2005 melalui dana APBD Perubahan, sementara Pemkab Nunukan mengeluarkan surat ke Menhut dan Dishut Kaltim pada 2007 untuk permohonan pinjam pakai kawasan hutan.
"Artinya pembukaan Hutan Lindung untuk pembangunan infrastruktur telah dikerjakan terlebih dahulu. Dari hasil pemantauan kami 2008, Hutan Lindung Pulau Nunukan sudah berubah fungsinya," kata Ical.
"Jika ini dibiarkan maka kerusakan dan tingkat deforestasi di Hutan Lindung tersebut akan semakin meluas dan parah sementara Hutan Lindung ini juga berfungsi sebagai `buffer zone` untuk keseimbangan ekologi Pulau Nunukan," imbuh dia.
Sumber : Antara/FINROLL News Thursday, 25 March 2010 07:45
0 Comments Received
Leave A Reply