KAWASAN hutan lindung (HL) Nunukan semakin merana. Sudah tercabik-cabik tangan-tangan tak bertanggungjawab. Dari 1.000 hektar kawasan yang dilindungi itu, sekarang ditaksir hanya tersisa sekitar 300 hektar. Selebihnya, hutan alam di sana ludes dibabat oleh oknum-oknum masyarakat. Menariknya, aparat Kepolisian dan Satpol PP seolah berlomba menangkapi mobil-mobil truk yang kepergok mengangkut kayu-kayu olahan saat melintas di kota Nunukan.
Contohnya terjadi hari Rabu, 27 Mei 2009. Polisi Pamong Praja (Pol PP) bersama Dishutbun Nunukan menggelar razia rutin ke kawasan HL. Hasilnya memang terbukti. Mereka telah menjaring sekitar 36 kubik kayu olahan sebagai BB (barang bukti). Kayu-kayu yang sudah digergaji, dibentuk papan dan balokan dengan ukuran bervariasi itu ditemukan menyebar di berbagai tempat, dan ditengarai makin memperparah kerusakan kawasan lindung.
Penyitaan kayu-kayu curian itu di tiga tempat berbeda. Pertama, sekitar 7 meter kubik ditemukan di Sungai Jepun – sekitar 2 kilometer dari jantung HL Nunukan. Lantas temuan kedua sekitar 8 meter kubik di dalam kawasan HL sendiri, dan terakhir 18 kubik ditemukan di wilayah Kampung Tator, dekat embung resapan air yang dibuat Dinas PU Nunukan. Ironisnya, BB kayu curian itu saja yang ada, tanpa seorang pun tersangka pemiliknya.
Semua kayu-kayu temuan itu sudah diangkut dari TKP, dan ditumpuk di halaman Kantor Bupati Nunukan. “Penimbunan BB kayu ilegal asal HL itu diendapkan di Kantor Bupati Nunukan agar pemilik kayu tidak berani mencuri kembali BB yang sudah diamankan petugas,” ucap Komandan Satpol PP Nunukan, Sanusi. Ia menggambarkan selama ini beberapa BB kayu tangkapan diduga dicuri ulang oleh pemilik kayu.
Sanusi mungkin benar. Sayangnya, prestasi Pol PP merazia kayu ilegal di HL Nunukan seolah menyulut ketersinggungan jajaran Polres Nunukan. Persoalannya, Pol PP dianggap jalan sendiri alias tak melibatkan lembaga penegak hukum dalam melakukan penangkapan. Padahal, sudah ada kesepakatan bersama untuk membentuk tim terpadu saat operasi di HL.
Kapolres Nunukan sendiri, AKBP Purwo Cahyoko tak menampik persoalannya. “Yang membuat kita agak tersinggung, lantaran BB tangkapan Pol PP itu juga tak pernah dilaporkan. Apalagi dilimpahkan ke pihak berwajib,” ujarnya. Malah, kondisi itu memancing kecurigaan polisi tentang ketidakberesan penyelesaian kasus ilegal logging di lingkup Pol PP itu.
Jajaran Polres sendiri, aku Kapolres, tidak akan menelusuri dan mengembangkan lebih jauh kecurigaan itu. Alasannya, Polres masih menghargai keberadaan lembaga masing-masing, sehingga tudingan itu tidak dapat dibuktikan. Namun, aparat penyidik di wilayah hukum Nunukan berharap ada keterbukaan dari pihak Pol PP terkait kronologis penangkapan kayu ilegal di kawasan terlarang itu, demi mengusut lebih jauh tersangka pelaku ilegal logging itu agar tuntas.
Di bagian lain, Polres Nunukan mencatat ada beberapa kasus penangkapan kayu ilegal yang dilakukan Pol PP - yang tanpa disertai penangkapan tersangkanya. Terlebih Pol PP Nunukan sendiri belum memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Padahal, PPNS itu merupakan persyaratan petugas yang harus bertanggung jawab untuk memproses kasus-kasus pelanggaran hukum.
“Kasus-kasus penangkapan tersangka pelaku dan BB ilegal logging seyogyanya harus di-over ke penyidik polisi. Seorang PPNS harus memiliki identitas tersendiri dan berkoordinasi dengan polisi dalam memproses kasus-kasus pelanggaran hukum,” ucap Kapolres Purwo Cahyoko seakan tak habis mengerti. Koordinasi yang didengungkan selama ini seakan sudah terabaikan.
Ia merasa kuatir kalau proses penegakan hukum di wilayah Nunukan ini semakin semraut. Seakan tidak terkoordinir dengan baik. Padahal, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah pemberantasan ilegal logging di kabupaten perbatasan ini benar-benar bisa teratasi. “Kalau kondisinya seperti ini maka tersangka pelaku tidak pernah mendapat efek jera,” ujar Purwo Cahyoko seraya berharap kepada lembaga yang merasa menegakkan hukum harus memahami kewenangan dan tupoksi masing-masing agar tidak terjadi kerancuan tugas.
Komandan Polisi Pamong Praja Nunukan sendiri, Sanusi, mengakui tidak melibatkan jajaran Polres dalam penangkapan kayu ilegal di HL. Persoalannya, lembaga PP ini menganggap penangkapan itu sebagai satu kebetulan. Pol PP mengklaim hanya diajak oleh Dishutbun Nunukan dalam kegiatan patroli biasa. Soal koordinasi, urai Sanusi, merupakan kewenangan Dishutbun yang menjadi pemrakarsa kegiatan patroli di HL.
Walau begitu, Sanusi mengaku, penangkapan kayu-kayu ilegal itu sudah dikoordinasikannya dengan pihak Polres Nunukan via HP (handphone). “Tidak benar kalau kami tidak melaporkan ke jajaran Polres. Kami melaporkan kalau Pol PP telah menemukan kayu ilegal di tiga wilayah terpisah dalam kawasan HL Nunukan yang merupakan areal KBK,” ucap Sanusi tanpa menyebut petugas Polres yang menerima laporannya.
Terkait tak adanya tersangka atau penanggungjawab kayu curian ini, Sanusi menyatakan tak satu pun warga yang melapor jika kayu yang ditangkap itu sebagai pemilik. “Kami masih menunggu masyarakat yang mengaku pemilik kayu tangkapan itu,” aku Sanusi ketika menjawab BONGKAR! sekitar tidak adanya tersangka yang diamankan bersama BB kayu yang sekarang menumpuk di halaman Kantor Bupati Nunukan itu.
Persoalan penangkapan kayu olahan di Nunukan selama ini menuai banyak kontroversi di kalangan warga. Banyak indikasi keganjilan yang memancing berbagai gunjingan masyarakat. Kesannya, penangkapan demi penangkapam yang gencar dilakukan jajaran Polres Nunukan – bahkan kadang dilakukan pihak Kodim (TNI/AD) - sepertinya tebang pilih. Buktinya, kayu-kayu yang masuk daftar penagkapan aparat hanya kayu yang kebetulan termuat di mobil truck.
Tapi, bagi warga yang menyiasati pemuatan kayu dengan menggunakan gerobak dorong seolah tidak dimasalahkan. Tidak heran jika gerobak dorong atau becak yang memuat kayu olahan kini menjadi pemandangan baru di Nunukan. Padahal, hal itu dilakukan terang-terangan bahkan melintas dihadapan aparat kepolisian sekali pun.
Keanehan lainnya terjadi pada kegiatan pengrusakan kawasan hutan lain. Petugas cenderung hanya menangkap kayu-kayu olahan yang ditengarai berasal dari HL. Tapi, penangkapan itu tidak diberlakukan pada pembabatan dan penghancuran hutan bakau (mangrove) untuk kepentingan proyek. Padahal, kayu-kayu bakau yang berdiameter 10 cm itu tak pentingnya untuk menjaga keseimbangan alam. Menjadi penyangga abrasi pantai dan berkembang biaknya biota laut kini sedang terancam di Nunukan.
Pemanfaatan kayu-kayu bakau memang marak di Nunukan. Dijadikan sebagai penyangga konstruksi bangunan proyek, terutama bangunan-bangunan bertingkat. Kejadian ini sudah lama dan praktis tidak pernah terjamah proteksi dari aparat kepolisian. Malah, di saat kayu olahan tidak leluasa diperjualbelikan, kawasan hutan bakau pun ramai dibabat dan diperdagangkan.
Kompleks memang persoalannya. Kerusakan dan pengrusakan lingkungan – terutama di kawasan pantai Nunukan sebagai wadah berkembangnya biota laut -- tak kalah parahnya dengan kerusakan kawasan HL. Ironisnya, belum terlihat adanya keseriusan aparat untuk benar-benar tulus dan ikhlas menegakkan aturan hukum. Buktinya, penumpukan penjualan kayu bakau pun leluasa dibangun oknum masyarakat, terutama di daerah eks kebakaran pasar Lamijung dan Yamaker, Nunukan Barat.*yusuf palimbongan, sakir
Sumber : Bongkar Online Senin, 22 Juni 2009 16:32
0 Comments Received
Leave A Reply