Pihak Departemen Kehutanan merilis data bahwa laju kerusakan hutan dalam beberapa dasawarsa terakhir sekitar dua juta hektare per tahun.
Namun, pihak Forest Wacth Indonesia (FWI) melansir, pada 2001 hingga 2003, sekitar tiga sampai empat juta hektare hutan mengalami kerusakan setiap tahun.
FWI memperkirakan bahwa pada 2000 tingkat kerusakan hutan Indonesia sudah sangat parah, yaitu sekitar 3,8 juta hektare per tahun.
Kerusakan hutan kian parah pada 2000 diduga terkait dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yakni adanya kebijakan bupati/walikota mengeluarkan HPHH atau HPH skala kecil 100 Ha.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menekan laju kerusakan hutan, melalui kebijakan untuk mengurangi jumlah RKT (rencana kerja tahunan) yang semula mencapai lima juta M3 per tahun menjadi sekitar satu juta meter kubik per tahun.
Namun, ancaman terhadap kelestarian hutan ternyata belum berakhir, karena kini muncul bukan dari sektor perkayuan atau tebang liar, akan tetapi dari sektor pertambangan.
Berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kini membawa persoalan bagi kelestarian hutan, karena peraturan ini memperbolehkan kepala daerah (bupati dan walikota) mengeluarkan izin KP (kuasa penambangan).
Data Distamben Kaltim menunjukkan bahwa di provinsi itu kini terdapat 1.202 perusahaan batu bara, yakni 32 perusahaan mengantongi PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) dan 1.180 memegang izin KP (Kuasa Pertambangan).
Walhi Kaltim mengungkapkan data bahwa persoalan deforestrasi kian parah justru bukan dari sektor kehutanan, karena terdapat 166 perusahaan pertambangan batu bara yang kini melakukan pinjam pakai kawasan hutan sehingga mengancam kelestariannya.
"Celakanya, sebagian lahan yang menjadi kawasan pinjam pakai oleh perusahaan pertambangan batu bara itu adalah masuk dalam katagori hutan lindung," kata Direktur Walhi Kaltim, Isal Wardhana.
Secara moral dan demi penyelamatan hutan alam Kaltim yang tersisa, katanya, maka tidak ada argumentasi yang membenarkan jika Kementerian Kehutanan mengamini peminjaman kawasan hutan untuk aktivitas di luar kehutanan yang diajukan oleh Pemerintah kabupaten/Kota dan lebih dari 60 perusahaan pertambangan di Kaltim.
Terbanyak Kalsel
Data Walhi itu menunjukkan daerah terbanyak yang mengajukan izin pinjam pakai hutan adalah Kalsel, sebanyak 72 perusahaan batu bara, kemudian di Kaltim mencapai 65 perusahaan, Kalteng 20 perusahaan, dan Kalbar delapan perusahaan.
Sejak 2001, di Kaltim tingkat deforestrasi (pengurangan luas hutan) mencapai 350 ribu hektare setiap tahun, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat di Kaltim yang masih menggantungkan hidupnya dari hasil hutan.
Ia menjelaskan bahwa dalam prosesnya pemerintah pusat melalui Dephut harusnya tidak memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan, walaupun dalam peraturan atau regulasinya dibenarkan ketika sudah ada SK Menhut mengenai pinjam pakai kawasan hutan.
"Permohonan ini harus ditelaah secara mendalam mengingat semakin tingginya tingkat deforestrasi di Kaltim dan bahkan sampai merambah hutan lindung di Kalimantan Timur," katanya.
Eksploitasi kawasan hutan di Kaltim akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan di Kaltim dan secara langsung berpengaruh terhadap bencana ekologis yang terjadi di Kaltim.
Dari hasil pantauan Walhi Kaltim, dia menambahkan, dalam kasus di Kabupaten Nunukan menunjukkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan telah melakukan kegiatan proyek pembukaan jalan di dalam kawasan hutan lindung.
"Namun, Pemkab setempat sampai kini diindikasikan belum bisa menunjukkan kepada publik SK Menhut menyangkut pinjam pakai kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Nunukan," ujar dia.
Tindakan Pemkab Nunukan itu merupakan pelanggaran terhadap fungsi kawasan dan perundang-undangan yang berlaku pada sektor kehutanan.
"Seharusnya aparat keamanan menghentikan proyek yang berada di dalam kawasan hutan lindung tersebut," katanya menegaskan.
Isal menambahkan bahwa Menhut yang baru juga seharusnya jangan memberikan SK pinjam pakai kepada Pemkab Nunukan sampai adanya telaah yang mendalam terhadap proyek tersebut, mengingat diindikasikan proyek telah dijalankan tanpa adanya SK pinjam pakai yang dikeluarkan oleh Menhut.
"Mengenai pertambangan batu bara itu, maka sudah jelas bahwa aktivitas tersebut secara tidak langsung akan mengurangi kawasan hutan di Kaltim. Apalagi, sampai saat ini reklamasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar batu bara di Kaltim belum berjalan secara maksimal," katanya.
Lemahnya realisasi program reklamasi itu terbukti dengan ditemukannya beberapa lahan yang belum direklamasi secara maksimal oleh tim dari DPRD Provinsi beberapa waktu yang lewat.
Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Ajie Sofyan Alex menjelaskan bahwa dari sekian perusahaan batu bara, hanya beberapa yang benar-benar bisa menjalankan program rehabilitasi lingkungan melalui kegiatan reklamasi lahan.
"Bisa dilihat sendiri, di Kaltim kini banyak kolam raksasa eks-penambangan batu bara yang masih terbuka. Persoalan ini perlu ditangani serius agar tidak menimbulkan dampak lingkungan," kata politisi dari PDI Perjuangan Kaltim itu.
Diperkirakan bahwa faktor utama yang menyebabkan perusahaan "enggan" menjalankan kewajibannya melakukan program reklamasi lahan (menutup bekas galian serta menanam pohon penghijauan di atasnya) karena dana yang dibutuhkan sangat besar.
Musibah Banjir
Pada saat "kran reformasi" dibuka, maka pada awal 2000-an, terjadi "booming" kayu bulat karena kepala daerah bisa mengeluarkan izin HPHH (Hak Pemanfaatan Hasil Hutan) atau HPH (Hak Pengusahaan Hutan) skala kecil, yakni 100 Ha.
Sejumlah kepala daerah di Kaltim saat itu seperti berlomba-lomba mengeluarkan HPH skala kecil. Terbitnya ribuan izin HPHH pada gilirannya menyebabkan laju kerusakan lingkungan di Kaltim mencapai ratusan ribu hektare per tahun.
Terkait dengan adanya kewenangan bupati/walikota menerbitkan izin KP seperti diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diharapkan tidak mengulang kasus pemberian izin HPHH/HPH skala kecil tanpa kendali seperti yang berlaku pada awal bergulirnya desentralisasi pada 2000-an.
Setelah era "booming" kayu bulat berakhir, maka batu bara kini menjadi komoditi menjanjikan, karena tersedianya pasar nasional maupun internasional terhadap "fosil minyak" itu, meskipun dalam kondisi krisis ekonomi global.
Kegiatan eksploitasi batu bara itu kini sudah menunjukkan dampak yang langsung dirasakan rakyat, antara lain polusi udara dari debu yang bertebaran saat truk-truk besar yang membawa emas hitam tersebut serta musibah banjir.
Beberapa kota di Kalimantan Timur yang selama ini diterpa musibah banjir besar dalam siklus tahunan, misalnya 10 tahunan atau lima tahunan, namun dalam beberapa tahun terakhir beberapa kali terjadi banjir besar dalam satu tahun.
Lihat saja, selama 2008 dan 2009, musibah banjir dalam satu tahun berkali-kali menggenangi sejumlah daerah di Kaltim, antara lain Samarinda, Kutai Timur dan Kutai Barat.
Faktor dominan yang diduga melahirkan "penyimpangan fenomena alam" (banjir bukan lagi menjadi musibah dengan siklus tahunan), yakni akibat kian parahnya kondisi hutan sebagai kawasan tangkapan air hujan.
Ternyata ancaman terhadap kelestarian hutan belum berakhir, malah kini cenderung meningkat karena adanya kewenangan kepala daerah dalam menerbit kian izin KP, bahkan sebagian daerah seperti berlomba-lomba mengeluarkan izin dengan dalih untuk meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah)
Contohnya, Pemkab Kutai Kartanegara selama 2009 sudah menerbitkan 689 izin KP (Data Dinas Pertambagan Kaltim). Sedangkan dari data yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, pada 2007, baru 412 izin KP.
Pemkab Kukar selama 2007-2009 telah menerbitkan 275 izin KP. Jumlah ini merupakan yang terbanyak se-Kaltim, diikuti Kutai Barat (Kubar) yang menerbitkan 123 KP pada kurun waktu sama.
Melihat kenyataan itu, maka sebenarnya bupati dan walikotalah yang sangat menentukan baik dan buruknya pengelolaan sektor ekologis, termasuk peranan gubernur dalam mengoptimalkan fungsi pengawasan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. *antara*
Namun, pihak Forest Wacth Indonesia (FWI) melansir, pada 2001 hingga 2003, sekitar tiga sampai empat juta hektare hutan mengalami kerusakan setiap tahun.
FWI memperkirakan bahwa pada 2000 tingkat kerusakan hutan Indonesia sudah sangat parah, yaitu sekitar 3,8 juta hektare per tahun.
Kerusakan hutan kian parah pada 2000 diduga terkait dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yakni adanya kebijakan bupati/walikota mengeluarkan HPHH atau HPH skala kecil 100 Ha.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menekan laju kerusakan hutan, melalui kebijakan untuk mengurangi jumlah RKT (rencana kerja tahunan) yang semula mencapai lima juta M3 per tahun menjadi sekitar satu juta meter kubik per tahun.
Namun, ancaman terhadap kelestarian hutan ternyata belum berakhir, karena kini muncul bukan dari sektor perkayuan atau tebang liar, akan tetapi dari sektor pertambangan.
Berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kini membawa persoalan bagi kelestarian hutan, karena peraturan ini memperbolehkan kepala daerah (bupati dan walikota) mengeluarkan izin KP (kuasa penambangan).
Data Distamben Kaltim menunjukkan bahwa di provinsi itu kini terdapat 1.202 perusahaan batu bara, yakni 32 perusahaan mengantongi PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) dan 1.180 memegang izin KP (Kuasa Pertambangan).
Walhi Kaltim mengungkapkan data bahwa persoalan deforestrasi kian parah justru bukan dari sektor kehutanan, karena terdapat 166 perusahaan pertambangan batu bara yang kini melakukan pinjam pakai kawasan hutan sehingga mengancam kelestariannya.
"Celakanya, sebagian lahan yang menjadi kawasan pinjam pakai oleh perusahaan pertambangan batu bara itu adalah masuk dalam katagori hutan lindung," kata Direktur Walhi Kaltim, Isal Wardhana.
Secara moral dan demi penyelamatan hutan alam Kaltim yang tersisa, katanya, maka tidak ada argumentasi yang membenarkan jika Kementerian Kehutanan mengamini peminjaman kawasan hutan untuk aktivitas di luar kehutanan yang diajukan oleh Pemerintah kabupaten/Kota dan lebih dari 60 perusahaan pertambangan di Kaltim.
Terbanyak Kalsel
Data Walhi itu menunjukkan daerah terbanyak yang mengajukan izin pinjam pakai hutan adalah Kalsel, sebanyak 72 perusahaan batu bara, kemudian di Kaltim mencapai 65 perusahaan, Kalteng 20 perusahaan, dan Kalbar delapan perusahaan.
Sejak 2001, di Kaltim tingkat deforestrasi (pengurangan luas hutan) mencapai 350 ribu hektare setiap tahun, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat di Kaltim yang masih menggantungkan hidupnya dari hasil hutan.
Ia menjelaskan bahwa dalam prosesnya pemerintah pusat melalui Dephut harusnya tidak memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan, walaupun dalam peraturan atau regulasinya dibenarkan ketika sudah ada SK Menhut mengenai pinjam pakai kawasan hutan.
"Permohonan ini harus ditelaah secara mendalam mengingat semakin tingginya tingkat deforestrasi di Kaltim dan bahkan sampai merambah hutan lindung di Kalimantan Timur," katanya.
Eksploitasi kawasan hutan di Kaltim akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan di Kaltim dan secara langsung berpengaruh terhadap bencana ekologis yang terjadi di Kaltim.
Dari hasil pantauan Walhi Kaltim, dia menambahkan, dalam kasus di Kabupaten Nunukan menunjukkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan telah melakukan kegiatan proyek pembukaan jalan di dalam kawasan hutan lindung.
"Namun, Pemkab setempat sampai kini diindikasikan belum bisa menunjukkan kepada publik SK Menhut menyangkut pinjam pakai kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Nunukan," ujar dia.
Tindakan Pemkab Nunukan itu merupakan pelanggaran terhadap fungsi kawasan dan perundang-undangan yang berlaku pada sektor kehutanan.
"Seharusnya aparat keamanan menghentikan proyek yang berada di dalam kawasan hutan lindung tersebut," katanya menegaskan.
Isal menambahkan bahwa Menhut yang baru juga seharusnya jangan memberikan SK pinjam pakai kepada Pemkab Nunukan sampai adanya telaah yang mendalam terhadap proyek tersebut, mengingat diindikasikan proyek telah dijalankan tanpa adanya SK pinjam pakai yang dikeluarkan oleh Menhut.
"Mengenai pertambangan batu bara itu, maka sudah jelas bahwa aktivitas tersebut secara tidak langsung akan mengurangi kawasan hutan di Kaltim. Apalagi, sampai saat ini reklamasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar batu bara di Kaltim belum berjalan secara maksimal," katanya.
Lemahnya realisasi program reklamasi itu terbukti dengan ditemukannya beberapa lahan yang belum direklamasi secara maksimal oleh tim dari DPRD Provinsi beberapa waktu yang lewat.
Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Ajie Sofyan Alex menjelaskan bahwa dari sekian perusahaan batu bara, hanya beberapa yang benar-benar bisa menjalankan program rehabilitasi lingkungan melalui kegiatan reklamasi lahan.
"Bisa dilihat sendiri, di Kaltim kini banyak kolam raksasa eks-penambangan batu bara yang masih terbuka. Persoalan ini perlu ditangani serius agar tidak menimbulkan dampak lingkungan," kata politisi dari PDI Perjuangan Kaltim itu.
Diperkirakan bahwa faktor utama yang menyebabkan perusahaan "enggan" menjalankan kewajibannya melakukan program reklamasi lahan (menutup bekas galian serta menanam pohon penghijauan di atasnya) karena dana yang dibutuhkan sangat besar.
Musibah Banjir
Pada saat "kran reformasi" dibuka, maka pada awal 2000-an, terjadi "booming" kayu bulat karena kepala daerah bisa mengeluarkan izin HPHH (Hak Pemanfaatan Hasil Hutan) atau HPH (Hak Pengusahaan Hutan) skala kecil, yakni 100 Ha.
Sejumlah kepala daerah di Kaltim saat itu seperti berlomba-lomba mengeluarkan HPH skala kecil. Terbitnya ribuan izin HPHH pada gilirannya menyebabkan laju kerusakan lingkungan di Kaltim mencapai ratusan ribu hektare per tahun.
Terkait dengan adanya kewenangan bupati/walikota menerbitkan izin KP seperti diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diharapkan tidak mengulang kasus pemberian izin HPHH/HPH skala kecil tanpa kendali seperti yang berlaku pada awal bergulirnya desentralisasi pada 2000-an.
Setelah era "booming" kayu bulat berakhir, maka batu bara kini menjadi komoditi menjanjikan, karena tersedianya pasar nasional maupun internasional terhadap "fosil minyak" itu, meskipun dalam kondisi krisis ekonomi global.
Kegiatan eksploitasi batu bara itu kini sudah menunjukkan dampak yang langsung dirasakan rakyat, antara lain polusi udara dari debu yang bertebaran saat truk-truk besar yang membawa emas hitam tersebut serta musibah banjir.
Beberapa kota di Kalimantan Timur yang selama ini diterpa musibah banjir besar dalam siklus tahunan, misalnya 10 tahunan atau lima tahunan, namun dalam beberapa tahun terakhir beberapa kali terjadi banjir besar dalam satu tahun.
Lihat saja, selama 2008 dan 2009, musibah banjir dalam satu tahun berkali-kali menggenangi sejumlah daerah di Kaltim, antara lain Samarinda, Kutai Timur dan Kutai Barat.
Faktor dominan yang diduga melahirkan "penyimpangan fenomena alam" (banjir bukan lagi menjadi musibah dengan siklus tahunan), yakni akibat kian parahnya kondisi hutan sebagai kawasan tangkapan air hujan.
Ternyata ancaman terhadap kelestarian hutan belum berakhir, malah kini cenderung meningkat karena adanya kewenangan kepala daerah dalam menerbit kian izin KP, bahkan sebagian daerah seperti berlomba-lomba mengeluarkan izin dengan dalih untuk meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah)
Contohnya, Pemkab Kutai Kartanegara selama 2009 sudah menerbitkan 689 izin KP (Data Dinas Pertambagan Kaltim). Sedangkan dari data yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, pada 2007, baru 412 izin KP.
Pemkab Kukar selama 2007-2009 telah menerbitkan 275 izin KP. Jumlah ini merupakan yang terbanyak se-Kaltim, diikuti Kutai Barat (Kubar) yang menerbitkan 123 KP pada kurun waktu sama.
Melihat kenyataan itu, maka sebenarnya bupati dan walikotalah yang sangat menentukan baik dan buruknya pengelolaan sektor ekologis, termasuk peranan gubernur dalam mengoptimalkan fungsi pengawasan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. *antara*
0 Comments Received
Leave A Reply