Pertama, pembangunan jalan di hutan lindung melanggar undang-undang kehutanan karena diduga tanpa izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan.
Kedua, kegiatan pembangunan jalan ikut andil menyebabkan penurunan debit air Sungai Bolong, padahal air baku PDAM ini digunakan untuk menyuplai kebutuhan 2000 rumah tangga di Pulau Nunukan.
Ketiga, maraknya pengkavelingan lahan hutan lindung sejak pembukaan jalan.
Keempat, hutan lindung telah beralih fungsi menjadi perkebunan dan pemukiman.
Kelima, pembukaan jalan belum mendesak, karena sebagian besar jalan yang dibangun hampir tidak pernah digunakan masyarakat.
Keenam, pembukaan jalan menyedot anggaran hingga puluhan miliar setiap tahun yang berarti mengesampingkan anggaran untuk sektor yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat.
Ketujuh, di sejumlah kawasan HL, warga lebih dahulu menempati hutan lindung.
Kedelapan, belum pernah dilakukan sosialisasi batas hutan lindung.
Kesembilan, hutan lindung digunakan untuk perkantoran seperti Makodim.
" Perambahan hutan lindung marak sejak tahun 1980-an sehingga tegakan di dalamnya nyaris habis," kata Koordinator KP SPN, Saddam Husin, Jumat (26/3/10).
Dua persoalan lainnya yakni Tim Gabungan Pengawasan HLPN tidak maksimal bekerja sehingga masih sering terjadi perambahan hutan. "Sementara tidak ada ketegasan, instansi mana yang paling bertanaggungjawab terhadap HLPN," katanya. (*)
0 Comments Received
Leave A Reply