Pengelola pelabuhan Nunukan dipandang perlu mencontoh sistem pengelolaan pelabuhan Tarakan.

PELABUHAN Tunon Taka, Nunukan, sudah saatnya memiliki dua pintu. Satu untuk pintu masuk (kedatangan) dan satunya untuk keluar (keberangkatan). Artinya, harus ada pemisahan arus keluar masuk barang dan orang, terutama antara warga negara asing (Tawau, Malaysia) dengan warga Indonesia yang selama ini campur baur.

Pemandangan seperti ini kontras dengan pelabuhan Tarakan. Di Kota ini, keluar masuk warga Indonesia diatur tersendiri. Sebaliknya, keluar masuknya WNA pun tersendiri. ‘’Saya heran, kenapa PT Pelindo tak bisa menerapkan pola pengelolaan seperti pelabuhan Tarakan. Kalau begini terus, kapan kita bisa maju,’’ guman beberapa warga Nunukan.

Warga di kabupaten paling utara Kaltim yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Malaysia itu memang menyorot tajam PT Pelindo dan instansi terkait di sana. Penyedia fasilitas pelabuhan belum berbuat maksimal. Hampir tidak terlihat adanya upaya peningkatan pelayanan yang signifikan terhadap keluar masuknya barang dan orang. Hasil pemantauan BONGKAR! Sendiri menunjukkan, sistem pengelolaan dan pelayanan pelabuhan Tunon Taka cenderung memburuk. Penyebabnya belum jelas. Namun, contoh mencolok terlihat di pintu masuk pelabuhan sebelah kanan. Di sana, di pintu masuk itu, sering kali digantungi tujuh buah gembok kunci yang disebut-sebut milik tujuh dinas dan instansi terkait.

Apa maksudnya? Wallahu’alam! Namun, kesan pemasangan gembok gembok itu seolah menggambarkan para petugas becakut (berebut) kepentingan sendiri sendiri, Artinya, mereka tak memikirkan lagi bagaimana membuat kenyamanan, ketertiban, dan keamanan di kawasan pelabuhan yang menjadi pintu gerbang utama masuknya pendatang dari luar negeri.

’’Sekarang ini, memang sulit membedakan antara penumpang keluar negeri dengan WNI seperti TKI. Semuanya campur aduk. Padahal, seharusnya pintu keluar masuk TKI dibedakan. Karena itu, pelabuhan Nunukan memang menuntut pembenahan di sana sini, kalau memang ingin ditingkatkan menjadi pelabuhan internasional,’’ celetuk warga lainnya.

Bagaimana dengan tujuh gembok itu? ’’Siapa pun yang menggunakan pintu dalam keadaan darurat, saya selaku petugas instansi terkait di pelabuhan siap membantu membukakan. Tapi, sifatnya darurat seperti misalnya ada bencana kebakaran, tenggelamnya orang, atau ada tamu penting lainnya di pelabuhan ini,’’ ucap Haris, petugas instansi berkompeten di sana.

Haris pun tidak menampik tujuh gembok itu. Penutupan pintu sebelah kanan dengan tujuh gembok diakuinya guna memudahkan pengecekan dan pemeriksaan dokumen orang dan barang dari dan ke luar negeri. ’’Tidak betul, kalau mitra kerja dan masyarakat menuding penutupan pintu untuk kepentingan tertentu. Pemegang tujuh kunci itu pun tidak benar pula harus ada terus selama 24 jam di pelabuhan,’’ tandas Haris seperti membela diri.

Semrawut

Kawasan pelabuhan ini pun terkesan semrawut. Diperparah dengan para pedagang kaki lima. Mereka seolah bebas tanpa batas menjajakan dagangan seperti jamu, minuman, rokok dan penganan lainnya. Itu terjadi karena mereka disebut sebut membayar semacam upeti ke petugas Pelindo atau petugas instansi terkait lainnya.

Belum lagi para buruh pelabuhan yang over acting. Kurang disiplin, kadang ’main rampas’ barang atau tas penumpang yang datang dari dan ke Tawau, Malaysia, atau Tarakan. Celakanya, aksi ’main rampas’ tas barang itu membuat pemiliknya kadang dongkol, karena buruh meminta ongkos angkutnya belakangan dengan tarif mahal.

’’Seharusnya ini tidak perlu terjadi. Pembina TKBM harus memberikan rambu-rambu kepada buruh. Artinya, buruh jangan semaunya menentukan tarif barang yang diangkut, tapi rundingkan dulu tarifnya dengan pemilik barang agar tak terjadi kesalahfahaman seperti itu,’’ ucap Haris lagi seperti berupaya memberikan saran perbaikan.

Tapi, keluhan lain muncul di pelabuhan ini. Dialah tokoh masyarakat Nunukan, Syam Mansur. Kali ini, Syam Mansur menyoal karcis atau pas masuk pelabuhan yang dianggap terlalu memberatkan. Lebih banyak punglinya, ketimbang masuk ke kas pengelola pelabuhan.

’’Bukankah uang yang diberikan pengguna jasa pelabuhan kadang lebih besar, dan petugas tidak memberikan karcis masuk. Tapi, petugas jarang mengembalikan uang kembaliannya, atau kadang beralasan tak ada uang kecil. Nah, persoalan ini kelihatannya memang sepele, tapi kalau terus menerus dibiarkan seperti ini akan merusak citra jajaran Pelindo sendiri,’’ ucap Syam Mansur.

Wow, karuan saja Pelindo? Setidaknya, GM (General Manager) Pelindo Nunukan, Wellang seperti kesahangan (sewot atau blingsatan). Dia menyanggah karcis atau harga tiket masuk (HTM) pelabuhan mahal. Sangat tidak sebanding dengan investasi Pelindo untuk membangun berbagai fasilitas di sini. Contohnya seperti pembangunan kanovi, satu Testel jalur ke luar negeri, perpanjangan dermaga 150 meter, penambahan Trestel atau jalur jalan pelabuhan ke darat 162 meter, termasuk pengaspalan jalan jalur domestik.

’’Investasi pembangunan fasilitas pelabuhan yang kita bangun sangat tidak seimbang dengan pemasukan pas masuk yang dibayar oleh penumpang. Terlebih kalau dibandingkan dengan pas penumpang keluar negeri di Tarakan,’’ ujar Wellang seraya menyebut pas masuk penumpang ke luar negeri di Tarakan sebesar Rp 15.000 per orang, sedang di pelabuhan Nunukan hanya Rp 9.700 per penumpang ke luar negeri.

Pas masuk penumpang domestik pun, akunya, jauh lebih murah di Nunukan ketimbang di Tarakan dan Balikpapan. HTM penumpang domestik atau penumpang dalam negeri hanya Rp 4.500 per orang, jauh lebih lebih besar di Semayang Balikpapan yang pas masuknya sebesar Rp 7.500 per penumpang domestik.

’’Fasilitas pelabuhan Tunon Taka pun jauh lebih bagus ketimbang di pelabuhan Melundung Tarakan. Cuma memang, pelayanan petugas di dalam pelabuhan saya akui masih banyak yang perlu dibenahi. Perlu ditingkatkan lagi, terutama pos pos instansi terkait,’’ ujar Wellang agak memuji. Benarkah seperti itu? ***yusuf palimbongan.