Arah pembangunan Nunukan semakin tak jelas. RTRW saja baru dibicarakan setelah mencuatnya persoalan pembangunan.
MANTAN Komandan Kodim (Dandim) Nunukan, Letkol Inf. Taufik Budilukito pernah mengisyaratkan, wilayah Nunukan akan mudah dihancurkan musuh. Persoalannya, Pemkab kurang serius melakukan penataan wilayah. Menata zona pertahanan keamanan di garis perbatasan Indonesia -- Malaysia itu. Tak heran kalau ia mengimbau pemerintah untuk membuat konsep tata ruang yang jelas.
Tak cuma itu. KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Nunukan pun sudah dua kali menggelar hearing dengan DPRD. Mereka mempertanyakan ketidakjelasan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) ini. Dan, hasilnya KNPI kurang puas. Bappeda Nunukan selalu menyatakan, RTRW sedang digodog. Padahal, Nunukan sudah hampir delapan tahun menjadi kabupaten definitif.
Kiprah pembangunan pun terkesan seenaknya. Seolah tergantung selera penguasa. Termasuk tindakan merusak kawasan HL (hutan lindung) dengan membangun infrastruktur jalan, membuka akses kantong-kantong ekonomi. Maklum, Nunukan disebut salah satu kabupaten pemekaran yang perekonomiannya anjlok. Kabupaten ini pernah menjadi daerah terbelakang. Masuk daftar kwadran empat seperti dilansir tahun 2008 karena tidak adanya RTRW.
Bappeda Nunukan sendiri seolah tersadar. Segera merevisi RTRW Nunukan yang hendak direalisasikan 2009 ini. Bahkan, sudah menyiapkan Rp 334 juta dan realisasinya setelah pengesahan tata ruang provinsi. ‘’Revisi RTRW Nunukan pun merancang sejumlah program baru. Antara lain penataan tata ruang di Sebatik, program kerjasama pembangunan perbatasan, RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) dan monitoring,’’ ujar Kepala Bappeda Nunukan, H Hanafiah.
Hanafiah pun berandai-andai. Kalau RTRW terealisasi, urainya, maka sejumlah kerusakan lingkungan dan dampak negatifnya akan teratasi. Contohnya persoalan banjir di Sembakung. Bappeda, akunya, sudah memiliki program studi penanggulangan banjir. ‘’Banjir itu bukan baru sekarang. Dirasakan masyarakat sejak lama, terutama di Sembakung yang dalam satu tahun bisa 7 -- 10 kali banjir,’’ tandas Hanafiah ketika berbicara di hadapan Panggar (panitia anggaran) DPRD Nunukan.
Hanafiah mungkin benar. Tapi, dari pemaparannya itu tergambar kalau RTRW Nunukan baru dibicarakan. RTRW yang terkesan abal-abal atau asal-asalan setelah adanya dampak yang ditimbulkan. Sebaliknya, upaya menata daerah sesuai peruntukannya belum terpikirkan. Tak heran kalau kualitas sebagian SDM pejabat di Nunukan dianggap masih minim.
“Saya pikir, pemerintah harus merevisi pejabat yang benar-benar paham dengan tugas dan fungsinya. Tujuannya agar pembangunan di Kabupaten Nunukan bisa lebih baik dan terarah,” komentar Suparjono, salah satu aktivis WWF (World Wildlife Fund) yang terpanggil mengkritisi kebijakan pembangunan kabupaten ini.
Pemkab, timpalnya, sebenarnya tak perlu repot menggelontorkan dana ratusan juta rupiah membuat RTRW. WWF sendiri tahun 2003 silam sudah mengajukan RTRW kawasan itu. Sayangnya, usulan WWF seperti tak pernah tersentuh petinggi daerah ini. ‘’Jangankan menerima, mempertimbangkan usulan WWF saja seolah mereka tak sudi. Kabarnya – waktu itu -- segelintir oknum pejabat Bappeda menghendaki RTRW gratis dari WWF dan menganggap kurang menguntungkan. Para oknum itu pun mengusulkan rancangan sendiri dengan biaya lebih dari dua miliar rupiah,’’ urainya.
Penolakan Nunukan ternyata berbuah manis bagi Pemkab Malinau. Lihatlah sgawean WWF di daerah pimpinan Bupati Marthin Billa itu. TNKM (Taman Nasional Kayan Mentarang) – yang 70 persennya di wilayah Malinau berhasil diselamatkan. Tapi, bandingkan dengan 30 persen lagi di wilayah Nunukan yang sebagian besar kondisinya cukup mengenaskan.
0 Comments Received
Leave A Reply